Udah nonton trailer “The Little Mermaid” yang keluar baru-baru ini? Lo pasti juga aware karena sedang menjadi pembahasan yang trending di Tiktok.
Banyak orang yang beranggakapan kalau Ariel di live actionnya gak mirip sama versi di kartun. Ariel di The Little Mermaid versi kartun punya mata biru, rambut merah terang, dan berkulit putih.
Sementara itu, Halle Bailey memiliki kulit berwarna coklat, rambut merah yang tidak terlalu mencolok, mata berwarna coklat.
Makanya, banyak yang mengaku kecewa karena Ariel live action tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Kalau menurut Lo gimana?
Bahas-bahas warna kulit, nih, ternyata ada istilah untuk diskriminasi berdasarkan warna kulit, lho, yaitu Colorism.
Colorism adalah diskriminasi atau sikap rasis yang dilakukan terhadap orang-orang berkulit lebih gelap.
Gak dipungkiri kalau Indonesia sendiri punya standar kecantikan yang sebenarnya kurang realistis, yaitu perempuan harus putih, kurus, tinggi, wajah mulus, rambut lurus, dan masih banyak lagi.
Orang dengan kulit lebih gelap lebih sering ditempelkan dengan steriotip buruk seperti, gak bisa rawat diri, jorok, gak mandi, dan lain-lain.
Kenapa, sih, orang-orang sangat terobsesi dengan kulit putih? Bahkan beberapa produk skincare atau bodycare Indonesia yang namanya mengandung kata “whitening”.
Ternyata, diskriminasi warna kulit di Indonesia ini dipengaruhi oleh kolonialisme dari ratusan tahun silam.
Dilansir dair Magdalene, pada zaman pra-Belanda, sebenarnya warna putih tidak dilekatkan pada ras atau suku tertentu, melainkan hanya varian warna yang dianggap memiliki status lebih tinggi daripada warna hitam.
Misalnya, warna putih lebih baik, beruntung, dan indah dibandingkan warna yang lebih gelap.
Semakin lama, putih tidak hanya warna yang tak bermakna, tapi juga mulai membentuk steriotip tertentu terhadap standar kecantikan, gender, dan colorism itu sendiri.
Hal tersebut jadi semakin lestari dengan munculnya film-film yang menggambarkan protagonis identik dengan pakaian yang cerah dan antagonis identik dengan pakaian hitam.
Setelah itu, pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, mereka membawa standar kecantikan yaitu perempuan putih dan berkebangsaan Belanda atau Jepang.
Saat Indonesia merdeka, standar kecantikan pun bergeser, tapi tetap putih adalah kriteria cantik yang masih mengakar.
Kulti putih juga dipercaya bisa menggambarkan status sosial. Orang yang berkulit putih dianggap lebih terawat, jarang terpapar sinar matahari, dan bukan pekerja kasar.
Namun, Luh Ayu Saraswati dalam Magdalene mengungkapkan bahwa keinginan memiliki kulit putih datang dari berbagai kelas sosial.
Itu dia asal muasal diskriminasi kulit yang ada di Indonesia. Obsesi menjadi putih ini jadi semakin berbahaya karena orang-orang menghalalkan segala cara untuk menjadi putih karena ingin dianggap cantik sesuai dengan beauty standard yang ada.
Padahal, Indonesia terdiri dari banyak ras, dan suku yang membuat warna kulit masing-masing orang juga berbeda. Membentuk identitas diri yang berbeda.
Jadi, menurut Gue gak adil rasanya kalau Lo ngejudge seseorang dari warna kulitnya. Pertama, warna kulit itu gak bisa Lo pilih, dan kedua, bukan berarti semua orang dengan kulit yang berwarna itu jelek, jorok, dan apa pun itu, dong.
Cantik itu gak ada standardnya. Gue yakin semua orang punya pesona mereka sendiri. Yang penting percaya diri aja.
Punya kulit putih bukan standard yang harus Lo kejar untuk dianggap cantik. Itu hanya struktur yang dibentuk masyarakat sosial. Mau kulit Lo coklat, sawo matang, kekuningan, gak masalah, kok.
Kalau Lo sendiri pernah gak dapat perlakuan colorism dari teman atau orang-orang disekitar Lo?
aaa