Menjelang lebaran, ketemu keluarga bersar, lo pasti tau pertanyaan apa yang bakal lo dapetin. Ya, “Kapan nikah?”, “Mana calonnya?”, dan lain-lain.
Pertanyaan-pertanyaan kayak gitu udah kayak “ritual” tiap lebaran. Pasti ada aja yang nanyain. Apalagi kalau lo perempuan berusia 20 tahunan.
Kadang rasanya nikah itu menjadi satu-satunya goals utama yang lebih penting dari pendidikan atau karier seseorang.
Pernah gak sih lo kepikiran, kenapa orang Indonesia sangat terobsesi dengan pernikahan, atau hal-hal yang berbau pribadi?
Kenapa banyak orang Indonesia kepo dan obsessed dengan pernikahan?
Dilansir dari theconversation.com, masyarakat Indonesia sangat obsesif dengan pernikahan.
Banyak yang memandang nikah sebagai tolak ukur kedewasaan dan kebahagiaan. Seakan dengan lo nikah, lo udah menjadi orang yang utuh dan bahagia. Padahal, di kehidupan nyata gak begitu. Gak semua orang kebahagiaannya itu adalah menikah atau berkeluarga, kan?
Masyarakat juga tampak menerapkan stigma tertentu untuk orang yang udah berusia 20 tahunan, tapi masih belum menikah. Lagi-lagi, terutama perempuan. Sebenarnya laki-laki juga bisa mendapatkan stigma itu, tapi diusia yang lebih tua karena laki-laki dianggap harus mapan, sukses, dan punya karier bagus dulu sebelum menikah.
Gak sedikit orang yang mendapatkan dorongan dari masyarakat, hingga akhirnya pasrah dan memutuskan buat nikah, bukan karena memang mau, tapi udah gak tahan karena ditanyain dan disuruh nikah terus.
Medium.com, juga menjelaskan kalau Indonesia memiliki mayoritas penduduk beragama Islam. Maka dari itu, banyak yang berpendapat kalau pernikahan dini adalah cara terbaik untuk menghindari seks diluar nikah.
Selain itu, budaya patriarki di Indonesia dan kesetaraan gender yang jomplang juga mendukung pernikahan dini, dimana nikah sering dijadikan goals paling penting untuk perempuan, dimana orang-orang meyakini perempuan gak perlu sekolah tinggi-tinggi atau punya karier yang terlalu gemilang karena tugasnya adalah mengurus anak dan rumah tangga.
Gak sedikit juga yang mengira nikah adalah sebuah “prestasi” bagi perempuan dan kesuksesan perempuan hanya dinilai dari pernikahan saja.
Pernikahan dan pendidikan
Udah banyak penelitian yang mengungkap kalau pernikahan dan pendidikan saling berkaitan satu sama lain.
Mungkin dulu belum banyak perempuan yang bisa mengecap pendidikan, apalagi berkarier. Makanya, pernikahan dianggap sebagai “jalan” buat keluar dari kemiskinan, menuju hidup yang lebih baik.
Menurut gue, hal ini udah kurang relevan sekarang. Udah banyak perempuan yang bersekolah tinggi, dan sukses berkarier. Makanya, sekarang lebih banyak perempuan Indonesia yang menunda pernikahan, dibandingkan dengan dulu.
Dilansir dari analisis Himawan, idealisasi hipergami juga memengaruhi kenapa banyak perempuan jaman sekarang yang cenderung menunda pernikahan.
Pernikahan hipergami adalah ketika status sosial, ekonomi, dan spiritualitas laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Dengan kata lain, laki-laki lebih superior daripada perempuan. Dan ini sangat lumrah di Indonesia.
Studi dari Handalusia, Chaikal, dan Gerald tahun 2018 menyatakan kalau perempuan yang menjadi satu-satunya sumber pendapatan dalam pernikahan di Indonesia, 4 kali lebih rentan untuk cerai.
Dengan perempuan yang semakin maju, maka gak bisa dipungkiri kalau semakin sulit juga menemukan calon pasangan yang sepadan atau lebih dari perempuan itu.
Seharusnya lingkungan masyarakat sadar kalau pernikahan bukan tujuan akhir dan bukan sesuatu yang harus dipaksakan atau harus dilakukan dalam tenggat waktu tertentu.
Kita juga gak bisa mencampuri kehidupan pribadi orang lain, kayak urusan nikah. Sebagai keluarga atau teman yang baik, kita harus lebih meng-encourage orang lain untuk menikah di saat dan waktu yang tepat.