Sebagai anak pertama juga, gue yakin gak cuman gue yang merasakan sindrom anak pertama atau eldest child syndrome.
Dilansir dari theconversation.com, eldest child syndrome adalah beban emosional yang harus ditangung oleh anak pertama dari usia muda.
Sebagai anak pertama, kita pasti sering diberikan berbagai tanggung jawab dan dipercaya untuk melakukan banyak hal. Mulai dari menjaga adik (kalo ada), belanja, bantu beresin rumah, dan masih banyak lagi. Tampaknya memang buka hal yang berat, tapi gak se-simple yang kita kira juga.
Nyatanya eldest child syndrome ini juga berhubungan dengan patriarki, parenting, dan kesetaraan gender. Sini gue jelasin.
Seperti yang kita ketahui, dalam keluarga, banyak yang masih menganggap kegiatan seperti memasak, bersih-bersih, itu masih tugas perempuan, yang dimana itu adalah seorang ibu. Secara gak langsung, anak perempuan paling tua juga pasti dituntut untuk membantu tugas-tugas tersebut. Seenggaknya pernah membantu.
Sebagai anak perempuan paling tua, biasanya dituntut untuk bisa berperan menjadi “ibu pengganti” kalau ibu dalam keluarga sedang bekerja dan tidak di rumah.
Apalagi kesetaraan gender di tempat kerja yang sudah mulai progresif, belum terlalu banyak berlaku di rumah tangga. Makanya, sebagai ibu yang bekerja, ada sesuatu yang dikorbankan dan itu bisa jadi masa muda anak perempuan tertuanya.
Sebuah penelitian menemukan kalau diantara remaja, anak perempuan dari retang usia 5-14 tahun 40% lebihi banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki.
Orang tua yang sering memberikan tanggung jawab lebih pada anak pertama juga pasti menetapkan ekspektasi tertentu. Disinilah kebanyakan anak pertama merasa berat atau “burn out” untuk mencapai ekspektasi tersebut.
Apakah ada hubungannya terhadap kehidupan personal dan profesional anak pertama?
Menjadi anak pertama juga ada bagusnya. Kita belajar tanggung jawab dari usia muda, tapi juga disertai dengan beberapa tantangan dalam kehidupan pribadi dan profesional.
Tekanan yang kita dapat, untuk menjadi panutan, untuk menjadi yang terbaik, untuk memenuhi ekspektasi tinggi orang tua bisa mengarahkan kita pada stres, anxiety, dan takut akan kegagalan.
Sebagai anak pertama juga cenderung merangkul terlalu banyak kewajiban, pekerjaan, dan bisa mengarah ke burn out, dan sulit mendelegasikan tugas ke orang lain. Karena dari usia muda kita udah dituntut melakukan ini itu sendirian, kita jadi orang yang mandiri dan cenderung enggan menerima bantuan orang lain.
Dalam kehidupan kerja, anak pertama yang achievement-oriented bisa menjadi pedang bermata dua. Bisa membuat performanya tinggi di pekerjaan, tapi juga bisa membuatnya jadi workaholic, dan sulit menemukan keseimbangan antara bekerja dan istirahat.
Anak pertama yang biasanya perfeksionis akan sulit beradaptasi dengan perubahan dan takut mengambil langkah, yang padahal itu adalah kunci kesuksesan.
Jadi, sebagai anak pertama, apakah lo juga merasakan hal yang sama?